Tangis Pertamamu

Kemarin, seorang sahabat berulang tahun. Dia tidak akan mau disebutkan namanya. Tragis atau apalah padanannya, yang pasti pertemuan kami setelah menuntut ilmu di dua daerah berbeda mengantar takdir kami untuk bertemu di sini. Jakarta sore itu.

Tragis, karena hampir beberapa bulan yang lalu, kami bertemu dengan angan di kepala, dan angan itu masih terjaga sampai saat ini. Sebuah harapan kuat, bahwa hari esok harus dan akan lebih baik. Harapan dan angan tak kunjung menuju realita.

Hari ulang tahunnya, tidak akan menjadi istimewa tanpa kehadiran orang-orang yang dihormati dan dianggap teman olehnya. Sayapun akan merasakan hari yang hampa tanpa canda sahabat-sahabatku disampingku, apalagi di hari kelahiranku. Dia masih menceritakan kemalangannya dan ketidakadilan hidup, masih menceritakan kalau orang-orang di sekitarnya telah berubah (menjadi seseorang yang lain, yang tidak ingin dikenalnya sampai ajal menjemputnya, apalah arti seorang sahabat?), dan dia masih bersemangat meratapi nasib, ketika kami membiarkan dia berteriak akan ketirnya hidup. Sayang sekali saat itu diantara kami tidak ada seorang yang bijak, yang sudah mengerti perubahan prilaku dan ikatan kesosialan di tengah arus perubahan hidup.

Kami hanya memperdebatkan masa lalu, memperdebatkan orang-orang yang kami anggap melupakan “hakekat tali pusarnya.” Bahkan, semua pesimisme hidup seakan menjelma menjadi selubung pembenaran keadaan kami yang menyedihkan. Sungguh ulang tahun yang mendung. Kelabu.

“Kenapa kau mempertanyakan keadilan Tuhan ketika hidup membawamu kekeadaan ini?” Saya tidak ingin menyalahkan siapapun, tidak menyalahkanmu, menyalahkan orang sekitar, negara atau pendeta-pendeta itu, karena saya pun cilaka, menghadapi hal yang sama. Tetapi saya tidak akan menggerogoti otakmu dengan cara berpikirku, karena bongkahan otak kita berbeda, (yang kuanggap telah) terisi dengan ajaran dan pengalaman hidup yang membentuk masing-masing kita.

Ketika saya mengatakan “Selamat ulang tahun untuk yang ke-30-an.” Kamu tertawa. Ketika saya mengejekmu dengan mengatakan orang yang lupa ulang tahunnya adalah tanda kematian akan menghampirinya, Engkau memakiku! Sungguh teman, saya hanya ingin menyampaikan bahwa: “suara pertamamu dulu beberapa tahun yang lalu masih menggema di jagad ini, sebab saya yakin tidak ada yang hilang di jagad ini!”

“Teriakanmu dulu menandai kehadiran seorang manusia yang duduk di hadapanku saat itu!” aku mengoceh. “Bagian mana dalam hidup yang menarik ini menyakitimu?”

Bagian mana dalam perjalanan ini yang memaksamu menangis?

Bagian mana dalam hidup ini yang memaksamu mengingkari-Nya?

Bagian mana yang begitu memaksamu, untuk mengatakan bahwa hari kelahiranmu tidak ada artinya?

Saya tidak menanyakan itu, di kala senja itu, sebab saya tahu dengan pola pikirmu semua aroma pesimistis yang mulai lekang itu akan membuatmu terdiam. Kau akan bandingkan hidupmu dengan mereka yang di atas, dan kamu tidak sudi melihat ke bawah. Saya tidak akan menyalahkanmu, dan jika ada yang menyalahkanmu, aku akan di sampingmu mendebatkannya dengannya!

Tangis pertamamu beberapa puluhan tahun lalu hampir mirip dengan suara pertamaku. Suara pertamamu puluhan tahun lalu hampir mirip dengan tangis pertamaku. Menyusuri ruang-ruang jagad raya.

Tapi, kerasnya suara pertama kita saya harap tidak semakin parau dan hilang. Biarkan dunia mendengarnya bagai nyanyian para pejuang, yang memperjuangkan yang sepantasnya mereka dapatkan. Biarkan dunia tahu, bahwa anak kampung dari ujung barat nusantara ini mempunyai harapan. Biarkan mereka tahu suara itu adalah suara laki-laki yang mengerti bahwa hidup adalah perjuangan, dan hidup adalah karunia bagi mereka yang memanfaatkannya. Klise huh?!

Suara pertamaku memang tidak selalu dirayakan tapi bukan sesuatu yang tidak pantas dikenang. Suara itu masih di sini!

Saya harap tangis pertamamu juga seperti itu.

Senyum dan damai buat kita, sahabat!

One response to “Tangis Pertamamu”

  1. Untuk seorang teman…

Leave a reply to eielwain Cancel reply